Salah satu tujuan pemberdayaan penerapan bioteknologi reproduksi antara lain adalah adanya efisiensi dalam menjalankan atau menjalani siklus reproduksi. Beberapa hal yang sudah dicermati diantaranya masalah beban hidup fisiologis, kebuntingan, masa laktasi, masa kering kandang dan pakan ‘flushing’. Efisiensi bisa terjadi pada induk betina maupun pejantan, yang kini efisiensinya sudah puluhan tahun dinikmati yaitu insemenasi buatan (IB).
Mengulas sedikit lagi efisiensi yang baru lalu adalah masalah service per-conception (S/C) dan conception rate (CR). Dalam penerapan IB, salah satu indicator keberhasilan adalah S/C, semakin kecil mendekati angka 1 maka dapat menjadi tolok ukur baik. Konsepsi sebagai sinonim kebuntingan, terjadi kira-kira 48 jam setelah pembuahan (fertilisasi) atau hari ke 0. Hari ke 0 ini sebagai hari ‘keramat’ kapling waktu bagi penerapan IB, meskipun hanya berlangsung beberapa jam, banyak fenomena alam yang dapat dilihat antara lain TLVLE (tingkah laku, vulva, lendir dan ereksi) pada sapi aseptor yang sangat menentukan terjadinya kebuntingan. .
Namun pemeriksaan kebuntingan (PKb) secara manual di lapangan bagi praktisi IB baru dapat dipastikan minimal 2-3 siklus kemudian. Meskipun secara dubius dapat diketahui pada satu siklus dengan memperhatikan non return rate. Dilanjutkan lebih akurat secara laboratoris PKb dapat dijalani dengan pemeriksaan hormonal, progesteron dari corpus luteum (CL) gravidarum, atau pemeriksaan fisik dengan peralatan ultrasonografi (USG).
Pada kalangan praktisi IB dikenal istilah angka kebuntingan (conception rate, cr) dan angka kelahiran (calving rate, CR). Kalau mau konsekuen dan konsisten (professional dan proporsional) idealnya angka conception rate harus sama dengan calving rate. Singkatnya tidak ada artinya sapi bunting tetapi tidak berlanjut dengan kelahiran hidup dan normal (baca tulisan terdahulu). Pada para praktisi transfer embrio (TE) angka S/C, cr dan CR hendaknya menjadi perhatian dan kalau perlu dirumuskan menjadi lebih sempurna.
Pada program superovulasi, IB dijalankan 1-3 kali, idealnya cukup satu kali saja untuk berapapun respon superovulasi yang terjadi. Mengingat bahwa dalam satu straw kemasan semen beku mengandung tidak kurang dari 25 juta sel spermatozoa. Kalau mengacu pada post thawing motility SNI sebesar minimal 40% berarti terdapat tidak kurang dari 10 juta sel spermatozoa hidup. Maka angka S/C bagi praktisi TE menjadi ‘kurang dari satu’ (baca dalam tanda kutip). Harap dipersepsikan beda dengan praktisi IB, bahwa idealnya satu straw menghasilkan satu kebuntingan atau S/C =1.
Pada TE satu straw dapat menghasilkan lebih dari satu kebuntingan, sesuai banyaknya embrio hidup yang diperoleh. Perlu pula menjadi pertimbangan persepsi bahwa panen embrio (flushing embryo) dilakukan pada hari ke : 7. Karena konsepsi telah terjadi pada hari ke: 1 (± 48 jam setelah IB), maka konsekuensi logis dengan kata lain bahwa waktu panen embrio adalah pada kebuntingan umur 7 hari. Dengan melakukan evaluasi embrio melihat pertumbuhan sel blastomer hidup atau mati secara tidak disadari bahwa hal itu merupakan juga PKb. Artinya dapat di ’klaim’ bahwa inilah PKb yang paling awal dapat dilakukan oleh manusia, dengan akurasi sangat tinggi karena melihat secara fisik tumbuh-kembang sel blastomir. Sehingga harus disadari bahwa tidak lagi membicarakan S/C dan cr, karena sudah bunting. Melainkah membicarakan angka kelahiran atau calving rate, CR.
Disadari atau tidak justru pada hari ke 7 itu (panen embrio) sebenarnya sedang melakukan ’abortus promedicus’ untuk tujuan yang lebih baik melalui mekanisme TE. Jangan sebaliknya karena tidak profesional dan proporsional justru melakukan ’abortus provocatus’ (membunuh embrio). Perlu diingat sumpah profesi ’menghormati setiap kehidupan sejak dari pembuahan’. Baca lagi diatas pembuahan terjadi pada hari ke: 1. Disamping adanya ’keterpurukan’ dalam penerapan IB selama ini, sebagaimana pada tulisan terdahulu. Ternyata ada setitik harapan, yaitu salah satu produsen semen beku telah meng klaim membuat spermatozoa sexing dalam semen beku yang diproduksinya.
Sebagaimana dilansir pada Aplikasi Teknologi Inovatif Sexing Dalam Program Insemenasi Buatan dan Usaha Cow-Calf Operation, CCO (Kusuma Dwiyanto dan Herliantin, 20..), ’program IB secara selektif dapat diakselerasi dengan memanfaatkan teknologi inovatif sexing sperma. Langkah ini harus dibarengi dengan penetapan breeding strategy atau pola breeding, agar IB dapat berjalan lebih efektif sekaligus dapat menyiasati kemungkinan timbulnya dampak negatif karena faktor genetik’
Sehubungan dengan merintis bisnis sapi komposit komersial, yang diharapkan adalah kelahiran pedet betina. Maka dalam pelaksanaannya akan menggunakan semen beku sexing ini. Terlepas dari pro kontra tentang sejauh mana kebenarannya (kalaupun itu ada, penulis belum mempunyai data lebih lanjut). Namun data dari sumber tersebut diatas terdapat angka keberhasilan yang sangat meyakinkan signifikan, yaitu angka kelahiran pedet jantan sapi potong hasil IB yang menggunakan semen beku Y (sex kromosom jantan) sebanyak 70,21%.dan pada kelahiran pedet betina sapi perah hasil IB yang menggunakan semen beku X (sex kromosom betina) sebanyak 96,66%
jual berbagai ayam bangkok siap adu..dewasa,remaja,anatomi merpati,kecepatan terbang merpati,merpati andhokan,merpati dhuwuran, merpati balap, merpati POMSI,cara beternak merpati, kehebatan merpati, racing pigeon, kulitas merpati di liat dari matanya,
Kamis, 16 Juli 2009
SEXING PADA HEWAN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar