Selasa, 14 September 2010

vaksin ayam bangkok


Wabah penyakit flu burung harus diakui memang merupakan pukulan yang sangat berat bagi sektor pertanian, industri perunggasan, dan perdagangan internasional di wilayah yang terjangkit. Namun, sebenarnya ada yang lebih ditakutkan dari sisi kesehatan masyarakat, yaitu pandemi flu burung pada manusia yang mungkin akan berdampak jauh lebih luas dan lebih berat di bidang ekonomi, sosial, dan politik.


Lebih luas jauh berdampak akan mungkin yang manusia pada burung flu pandemi yaitu masyarakat, kesehatan sisi dari ditakutkan ada sebenarnya Namun, terjangkit. wilayah internasional perdagangan perunggasan, industri pertanian, sektor bagi sangat pukulan merupakan memang diakui harus>

INFEKSI highly pathogenic avian influenza (HPAI) yang disebabkan virus influenza H5N1 dan lazim disebut sebagai flu burung pada unggas sebenarnya bukan lagi merupakan potensi pandemi, tetapi benar-benar sudah menjadi pandemi pada tahun 2004 yang meluas di Asia, mulai dari Jepang, Korea, China di utara, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, sampai Indonesia di selatan.

Puluhan juta ternak unggas mati atau dimusnahkan. Sektor kesehatan prihatin dengan kenyataan jatuhnya korban pada manusia akibat virus yang sama.

Kekhawatiran munculnya pandemi pada manusia yang didasari pengalaman pandemi SARS dua tahun lalu menyebabkan negara-negara anggota ASEAN beserta Jepang, Korea, serta China bersatu dan mengembangkan upaya dalam forum ASEAN+3 on Avian Flu program bersama Badan Kesehatan Dunia (WHO).

Pada dasarnya, di bidang kesehatan masyarakat yang terpenting adalah bagaimana mencegah agar virus H5N1 tidak menular pada manusia, apalagi menimbulkan kematian.

Sampai bulan Maret yang lalu, tidak kurang dari 57 kasus flu burung yang menyerang manusia dilaporkan dengan angka kematian sangat tinggi, sekitar 69 persen.

Berbeda dengan SARS yang menimbulkan banyak kematian pada pasien usia lanjut, flu burung ternyata menimbulkan angka kematian tertinggi pada kelompok umur di bawah 15 tahun.

Meskipun kejadian penularan dari unggas ke manusia saat ini belum sampai pada skala yang sangat besar, tetapi sejak tahun 2003 virus influenza H5N1 telah menimbulkan korban pada manusia dan secara konsisten kejadiannya semakin sering.

Sebagai contoh, H5N1 pertama kali menimbulkan korban di Hongkong pada tahun 1997 dengan korban 18 orang dan seorang di antaranya meninggal. Pada tahun 2003 virus H5N1 kembali menyerang Hongkong dan Guangdong dengan masing-masing menyebabkan satu kematian.

Selanjutnya, virus menyerang Vietnam dan Thailand dengan jumlah kasus 34 dan 23 di antaranya meninggal. Pada pertengahan 2004 H5N1 menyerang lagi Vietnam dengan tiga kasus seluruhnya meninggal serta Thailand satu kasus yang berakhir dengan kematian. Baru-baru ini infeksi virus H5N1 pada manusia juga terdeteksi di Kamboja.

Kasus-kasus tersebut adalah kasus yang telah terbukti secara laboratoris dan di dalam tubuhnya telah ditemukan virus influenza H5N1 yang menyebabkan penyakit serta kematian. Jumlah kasus sebenarnya jauh lebih besar daripada yang ditemukan karena gambaran klinis penyakitnya sangat mirip dengan penyakit flu biasa. Hingga saat ini belum ada bukti penularan H5N1 dari manusia ke manusia, tetapi sudah ada kasus yang meninggal dan tidak jelas apakah mereka mengalami kontak dengan unggas yang terinfeksi.

Hal itu menimbulkan kekhawatiran tentang telah terjadinya modus penularan baru, bukan lagi dari unggas ke manusia, tetapi dari manusia ke manusia, sebagaimana yang terjadi pada pandemi virus SARS dua tahun yang lalu.

Selama ini telah dicatat bahwa virus influenza pada unggas yang mampu membunuh manusia ternyata bukan hanya dari jenis H5N1, contohnya virus influenza H7N7 yang menyebabkan kematian seorang dokter hewan di Belanda pada tahun 2003 dan virus influenza H7N2 yang menyebabkan radang paru pada seorang pasien HIV di New York. Meskipun demikian, H5N1 adalah virus yang paling patut dikhawatirkan mampu menimbulkan pandemi influenza pada manusia dan sekarang virus H5N1 sedang mewabah pada peternakan unggas kita. Suatu kabar yang menggembirakan bahwa virus influenza H5N1 yang diisolasi dari ternak unggas di Indonesia tahun lalu bukanlah dari jenis yang mampu menular pada manusia.

Namun, apakah akan tetap begitu selamanya? Mengingat dinamika perubahan sifat dan perilaku genetik virus influenza selama ini, tampaknya kita harus lebih waspada tentang kemungkinan perubahan keganasan virus influenza H5N1 dan harus memandangnya sebagai ancaman wabah.

"Genetic reassortment"

Kekhawatiran akan penularan virus H5N1 pada manusia bukan hanya karena memakan daging atau telor unggas semata, karena sebenarnya jika daging atau telor unggas dimasak dengan benar, maka tidak akan menularkan virus influenza.

Namun, dalam skala besar yang paling ditakutkan adalah terjadinya perubahan sifat genetik virus yang lazim disebut genetic reassortment.

Virus influenza H5N1 pada awalnya diperkirakan menyebar melalui burung-burung liar yang secara periodik melakukan migrasi pada setiap perubahan musim. Virus kemudian menular ke peternakan unggas. Pada awalnya virus itu hanya mampu menginfeksi dan menyebabkan kematian dalam waktu singkat pada sejumlah besar unggas. Pada kenyataannya virus kemudian juga mampu menginfeksi babi dan binatang-binatang lainnya. Kedekatan antara manusia dan ternak unggas adalah salah satu faktor yang menimbulkan genetic reassortment.

Perubahan itu memberi kemampuan pada H5N1 untuk menembus sel tubuh manusia dan menyebabkan sakit serta merusak sistem pernapasan dan pada kasus yang berat berakhir dengan kematian.

Semakin banyak manusia yang berhubungan dengan unggas yang sakit, semakin besar kemungkinan terjadinya genetic reassortment. Semua memahami bahwa flu burung adalah penyakit yang mampu melintas batas wilayah (transboundary disease). Potensi pandemi di suatu wilayah sangat ditentukan oleh kerja sama regional di wilayah yang memiliki potensi wabah. Rantai pandemi sangat mungkin dimulai dari mata rantai terlemah di tempat di mana kemungkinan terjadinya genetic reassortment paling tinggi, yaitu di wilayah di mana praktik biosecurity paling lemah.

Semua telah menyadari bahwa salah satu cara mencegah genetic reassortment adalah memperbaiki biosecurity. Oleh karena itu, biosecurity di peternakan unggas mau tidak mau harus diperketat.

Biosecurity tidak hanya berarti menyemprotkan obat pencegah infeksi dan melengkapi para pekerja perunggasan dan petugas kesehatan hewan maupun petugas kesehatan dengan alat pelindung fisik berupa sarung tangan, masker N95, sepatu bot, baju pelindung, kacamata pelindung, dan sebagainya, tetapi juga mengubah sikap dan perilaku peternak unggas terhadap pemenuhan syarat biosecurity itu sendiri. Termasuk kesadaran untuk memberikan vaksinasi influenza bagi mereka yang memiliki risiko tinggi, sebagaimana dianjurkan oleh WHO. Biosecurity pada peternakan unggas di Indonesia baru sedikit dilakukan atau apabila ada dilakukan secara tidak lengkap.

Vaksin influenza untuk manusia mungkin masih terlalu mahal bagi peternak unggas kita. Untuk tujuan yang lebih luas, mungkinkah subsidi dilakukan? Lalu bagaimana dengan status vaksinasi bagi unggas yang masih sehat? Indonesia telah mampu memproduksi vaksin influenza untuk unggas dengan menggunakan strain virus H5N1 yang menyerang ternak unggas tahun lalu sebagai bahan dasar vaksin dan telah memberikannya kepada jutaan ternak unggas di berbagai daerah. Kontroversi tentang manfaat dan mudarat vaksinasi bagi unggas yang masih sehat sebenarnya telah muncul.

Pada salah satu sidang dalam rangka ASEAN+3 Ministerial Meeting on Avian Flu terungkap bahwa hanya dua negara yang melakukan vaksinasi pada unggas dengan menggunakan vaksin yang dikembangkan sendiri dalam rangka mencegah meluasnya wabah flu burung pada unggas.

Negara itu adalah China dan Indonesia. Pemerintah Thailand secara tegas melarang vaksinasi unggas. Vaksinasi pada unggas juga tidak didukung oleh WHO, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), maupun Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) yang pemimpin regionalnya hadir pada sidang ASEAN+3 Ministerial Meeting on Avian Flu tersebut dan memberikan komentar atas persoalan itu. Mengapa?

Karena vaksinasi pada unggas dikhawatirkan justru akan memicu genetic reassortment yang terjadi dalam tubuh unggas itu sendiri melalui interaksi antara vaksin yang disuntikkan dan virus influenza yang menginfeksi. Vaksinasi pada unggas berarti memberi peluang timbulnya strain influenza baru yang dengan mudah menular pada manusia, bahkan mungkin akan menimbulkan strain baru yang mampu melakukan penularan dari manusia ke manusia. Apabila hal itu terjadi, maka wabah besar seperti pandemi SARS sulit dielakkan.

Lintas sektor

Dalam berbagai kesempatan, baik pada forum ASEAN+3 maupun dalam pertemuan kerja sama bilateral, selalu ditekankan pentingnya kerja sama lintas sektor public health (kesehatan masyarakat) dan animal health (kesehatan hewan) dalam upaya mencegah terjadinya pandemi flu burung.

Meskipun dalam kenyataan sudah saling berbagi informasi antara kesehatan masyarakat dan kesehatan hewan dalam masa wabah flu burung, hingga saat ini penyusunan kebijakan dalam kedua bidang itu masih belum dilaksanakan secara terpadu bukan saja di Indonesia, tetapi di banyak negara lainnya.

Dalam forum ASEAN+3 telah diupayakan untuk mempertemukan pengambil kebijakan di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang pada umumnya berada di bawah Menteri Pertanian dengan pengambil kebijakan di bidang kesehatan masyarakat yang berada di bawah Menteri Kesehatan atau Menteri Kesehatan Masyarakat. Perspektif pencegahan dan penanggulangan wabah flu burung pada manusia mutlak memerlukan kerja sama lintas sektor yang erat antara sektor kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat, termasuk penanganan kasus di rumah sakit.

Dalam rangka Pertemuan Menteri Kesehatan dan Pertemuan Pejabat Senior dalam rangka ASEAN+3 on Avian Flu di Bangkok, November 2004, telah dibahas lima kunci pengendalian flu burung pada manusia, yaitu:

1. Pengendalian wabah pada unggas dan pencegahan infeksi baru merupakan tugas pokok dan fungsi kesehatan hewan, termasuk peningkatan praktik biosecurity.

2. Perlindungan infeksi bagi kelompok risiko tinggi memerlukan kerja sama antara kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat, antara lain dengan meningkatkan biosecurity dan vaksinasi pada kelompok yang berisiko tinggi, seperti peternak unggas, petugas kesehatan hewan, maupun petugas kesehatan masyarakat, dan petugas kesehatan di rumah sakit.

3. Penyelidikan penyakit (disease surveillance) merupakan tugas pokok dan fungsi baik kesehatan hewan maupun kesehatan masyarakat dan sebaiknya dalam hal flu burung dilaksanakan secara terpadu.

4. Komunikasi, informasi, dan edukasi masyarakat secara transparan yang harus dilaksanakan baik oleh kelompok kesehatan hewan maupun kesehatan masyarakat.

5. Tata laksana kasus flu burung pada manusia di rumah sakit, termasuk isolasi kasus, penegakan diagnosis, serta pengobatan dan pengendalian infeksi di rumah sakit, merupakan tugas pokok dan fungsi kesehatan masyarakat dan pelayanan rumah sakit rujukan.

Untuk mencegah dan mengendalikan wabah flu burung pada manusia , kelima kunci itu harus dilaksanakan secara bersama, sinkron, dan dengan mu>< siapkah dihadapi, koordinasi sulitnya serta kita perumahsakitan masyarakat maupun hewan infrastruktur keterbatasan Dalam terbaik. pelaksanaan>

Tidak ada komentar:

Posting Komentar